Prospek Keuangan Inklusif di Indonesia
![]() |
Source: www.merdeka.com |
ISTILAH
keuangan inklusif menjadi tren pasca krisis Amerika Serikat di tahun
2008, terutama didasari dampak krisis kepada kelompok in
the bottom of pyramid (pendapatan rendah dan
tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang
tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran)
yang umumnya unbanked
yang tercatat sangat tinggi di luar Negara maju.
Disinyalir
oleh Bank Dunia, tidak kurang dari 90% penduduk di Negara-negara
berkembang belum memiliki akses ke lembaga permodalan. Akibatnya
mereka harus berhadapan dengan berbagai kesulitan. Baik untuk keluar
dari jeratan kemiskinan, meningkatkan pendapatan, maupun untuk
mendiversifikasi usahanya. Fakta sosio-ekonomi inilah yang sebenarnya
melandasi visi jasa layanan keuangan noneklusif, universal, dan
menjangkau semua golongan.
Belum
ada definisi yang baku dari istilah keuangan inklusif. World Bank
mengartikan keuangan inklusif sebagai sistem jasa layanan keuangan
yang bersifat universal, nonekslusif. Dalam praktiknya, gagasan
keuangan inklusif mengambil bentuk dalam skema yang kini lebih
dikenal dalam istilah microfinance,
dengan fitur utama berupa microcredit.
Microfinance adalah
sistem layanan keuangan skala kecil (biasanya berupa kredit
permodalan) yang ditujukan untuk membiayai usaha skala mikro dan
menengah, baik perorangan maupun kelembagaan.
Keuangan
inklusif merupakan satu skema pembiayaan inklusif, dengan tujuan
utama memberikan berbagai layanan keuangan kepada kalangan miskin dan
berpenghasilan rendah. Ragam layanan keuangan tersebut antara lain
berupa kredit permodalan, tabungan, asuransi, serta layanan transfer
keuangan. Tiga kategori layanan keuangan yang belakangan disebut,
sebenarnya merupakan adisi dari layanan utama microfinance
dalam bentuk kredit usaha.
Mengapa
Perlu Keuangan Inklusif?
Berbagai
alasan menyebabkan masyarakat yang dimaksud menjadi unbanked,
baik dari sisi supply
(penyedia jasa) maupun demand
(masyarakat), yaitu karena price barrier
(mahal), information barrier
(tidak mengetahui), design product barrier
(produk yang cocok), dan chanel barrier
(sarana yang sesuai). Keuangan inklusif mampu menjawab alasan
tersebut dengan memberikan banyak manfaat yang dinikmati oleh
masyarakat, regulator, pemerintah, dan pihak swasta.
Mengutip
dari situs resmi Bank Indonesia, manfaat dari keuangan inklusif di
antaranya adalah: meningkatkan efisiensi ekonomi, mendukung
stabilitas sistem keuangan, mengurangi rentenir (irresponsible
finance), mendukung pendalaman pasar
keuangan, memberikan potensi baru bagi perbankan, mendukung
peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia, berkontribusi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang
sustainable dan
berkelanjutan, terakhir mengurangi kesenjangan sosial, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung
pada penurunan tingkat kemiskinan.
Dewasa
ini, keuangan inklusif digunakan sebagai dasar pikir yang melandasi
berbagai solusi programatik untuk mendukung perkembangan sektor usaha
skala kecil. Kini, berbagai program ini telah mendapatkan dukungan
prima dari Negara, baik dukungan dari segi kebijakan, penjaminan, dan
lain sebagainya. Lebih jauh lagi, sistem ini menjadi standard
operating systems sekaligus ujung tombak
dalam merespons fenomena kemiskinan di seluruh dunia.
Bagaimana
Keuangan Inklusif di Indonesia?
Strategi
keuangan inklusif bukanlah sebuah inisiatif yang terisolasi, sehingga
keterlibatan dalam keuangan inklusif tidak hanya terkait dengan tugas
Bank Indonesia (BI), namun juga regulator, Kementrian dan lembaga
lainnya dalam upaya pelayanan keuangan kepada masyarakat luas.
Melalui strategi nasional keuangan inklusif diharapkan bisa
berkolaborasi antar lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan
tercipta secara baik dan terstruktur.
Jika
acuan keuangan inklusif adalah empat poin seperti dibahas di awal,
yakni: kredit permodalan, tabungan, asuransi, serta layanan transfer
keuangan. Maka turunan dari konsep tersebut yang sudah dijalankan
oleh Pemerintah di antaranya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit
yang tidak menggunakan agunan (jaminan) dan pelaksanaanya menunjuk
bank-bank pelaksana. Kemudian konsep “Tabunganku” di era SBY,
dimana masyarakat menabung bisa dengan nominal Rp. 10.000,- dan tidak
ada potongan administrasi. Untuk asuransi kesehatan, program terbaru
dari Pemerintah sudah ada BPJS. Untuk transfer keuangan sendiri bisa
melalui bank dan ada lembaga-lembaga transfer antar Negara.
Bagaimana praktiknya program-program dari Pemerintah
tersebut? Menurut hemat penulis jika merujuk data di lapangan
program-program tersebut memang sepenuhnya belum optimal. Misal,
dalam praktiknya Bank pelaksana KUR tetap meminta jaminan. Program
Tabunganku hanya bergaung di awal-awal, dalam perjalanannya tidak
berjalan lagi. Asuransi kesehatan melalui BPJS juga belum bisa
terlaksana sepenuhnya karena ada program dari Pemerintahan yang baru,
yakni Kartu Indonesia Sehat dll. Untuk transfer keuangan juga masih
menerapkan admin yang cukup tinggi.
Perlu
ada terobosan yang lebih solutif dari konsep keuangan inklusif yang
selama ini sudah berjalan. Program yang terintegrasi bisa
mengakomodir semua problem masyarakat yang unbanked
seperti disebut di awal. KUR mungkin bisa terlembaga dan hadir di
seluruh daerah tanpa bantuan bank pelaksana. Program “Tabunganku”
bisa digiatkan lagi. Asuransi kesehatan, baik BPJS, KIS, Askes dll.
bisa terintegrasi secara baik. Admin layanan transfer antar daerah
dan Negara juga bisa diminimalkan. Dengan begitu, problem pada
kelompok in the bottom of pyramid bisa
terpecahkan. Wallahua’lam []
Komentar
nice artikel gan