Sistem Franchise (Waralaba) Halal?
![]() |
Info franchise, follow : @OmegaBubur |
"Bahwasannya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli yang bersifat
untung-untungan (gharar)."
(HR. Muslim)
BANYAK
pengusaha baru yang memilih membeli franchise (waralaba) daripada memulai
usaha baru dari awal. Tidak usah pusing-pusing memikirkan apa yang harus Anda
jual, bagaimana, dan tanpa perlu membangun brand
khusus untuk usaha Anda. Sekejap Anda dapat memiliki unit usaha, dengan menjual
barang atau jasa yang telah dikenal di masyarakat luas dan dengan menggunakan
merek yang telah tenar pula. Sehingga dalam memasarkannya relatif cukup mudah.
Bisnis waralaba adalah langkah yang baik
dalam memulai usaha karena untuk melalui prosesnya, pemilik waralaba yang
bekerja keras untuk Anda. Mereka sudah memiliki model usaha yang teruji,
panduan baku (SOP) untuk menjalankan usaha, dan menghabiskan jutaan rupiah
untuk membangun brand dan tetek
bengeknya.
Bagi Anda yang ingin berusaha namun tidak
mempunyai modal yang terlalu besar, bisnis waralaba bisa menjadi pilihan. Memulai
bisnis waralaba sesungguhnya pekerjaan yang sangat mudah. Karena Anda hanya
membeli sebuah usaha yang sudah mapan. Namun untuk suksesnya bisnis waralaba
yang akan Anda pilih, Anda harus paham betul bisnis dan sistem waralaba. Belum
lagi, ternyata banyak sistem waralaba yang ditawarkan di pasaran tidak syar’i.
Nah, tulisan ini bermaksud mengurai persoalan-persoalan yang ada di dalam
sistem waralaba dan berkembang saat ini. Tapi sebelum jauh membahas persoalan
dalam waralaba, ada baiknya kita mengenal dulu waralaba itu apa?
Tentang
Waralaba
Secara harfiah waralaba berarti hak untuk
menjalankan usaha (bisnis) di daerah yang telah ditentukan. Macam waralaba yang
umum dijalankan berupa bisnis, di mana pemberi lisensi waralaba telah mengembangkan
produk atau jasa dan keseluruhan sistem distribusi (pengantaran) serta
pemasaran produk atau jasa dalam transaksi. Dan sistem waralab yang berkembang
pesat di Negara-negara industri maju saat ini, bergerak di bidang retail maupun
rumah makan siap saji.
Di Indonesia, pengaturan tentang waralaba
diatur melalui Peraturan Pemerintah RI No 16 Tahun 1997. Rumusannya adalah
sebagai berikut:
(1). Waralaba adalah perjanjian dimana salah
satu pihak yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki
pihak lain dengan suatu imbalan, berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak
lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
(2). Pemberi waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak
kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak HKI atau penemuan
atau cirri khas usaha yang dimilikinya.
(3). Penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak
untuk memanfaatkan dan atau menggunakan HKI atau penemuan atau ciri khas yang
dimiliki pemberi waralaba. HKI dalam waralaba meliputi merek, nama dagang,
logo, desain, hak cipta, rahasia dagang, dan paten. Selanjutnya, ciri khas
usahanya antara lain sistem manajemen serta cara penjualan atau penataan atau
cara distribusi.
(4). Jenis waralaba dibagi menjadi dua, yakni
waralaba luar negeri dan waralaba dalam negeri. Sebelum mewaralabakan usaha,
setiap pengusaha mendaftarkan terlebih dahulu merek dagangnya ke kantor merek
di Ditjen HKI Indonesia dan pengawasan waralaba dilakukan oleh Dinas
Perindustrian Koperasi dan UKM (Disperedagkop) masing-masing daerah tempat
usaha dibuat.
Persoalan
Dalam Waralaba
Beberapa hal yang perlu dipersoalkan secara
hukum syari’at dalam waralaba adalah sebagai berikut:
Pertama,
pihak terwaralaba telah membayar uang sewa hak intelektual dan berbagai layanan
yang diberikan oleh pewaralaba (franchisor). Dengan demikian,
seharusnya ia tidak lagi memungut bagi hasil bulanan dari keuntungan pihak
terwaralaba. Adanya pungutan fee
bulanan ini, menjadikan nominal nilai sewa hak-hak intelektualnya tidak jelas,
atau yang disebut dengan gharar. Dan
Anda telah mengetahui bahwa adanya gharar
(ketidak-jelasan) pada suatu akad menjadikannya terlarang dalam syari’at.
Abu Hurairah RA. Mengisahkan: "Bahwasannya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli yang bersifat
untung-untungan (gharar)" (HR. Muslim). Hadits ini, walaupun secara khusus berbicara tentang hukum jual-beli,
namun larangan ini berlaku pula pada akad-akad komersial lainnya.
Kedua,
persoalan yang lain adalah fee yang
diambil pewaralaba dihitung dari keuntungan kotor, bukan dari keuntungan
bersih. Ketentuan ini sudah barang tentu sangat membebani pihak terwaralaba.
Solusi Persoalan Waralaba
Sebagai solusi atas dua hal yang menjadi
permasalahan pada akad waralaba, maka kedua belah pihak terkait, dapat memilih
satu dari beberapa opsi berikut:
Pertama, menerapkan Akad Serikat Dagang. Dengan opsi ini,
pihak pewaralaba yang bermodalkan hak kekayaan intelektualnya (baca: merk
dagang), bersinergi dengan pihak terwaralaba yang bermodalkan dana. Sebagai
konsekuensinya, kedua pihak membuat kesepakatan dalam penentuan nilai sewa hak
kekayaan intelektual selama batas waktu tertentu. Dengan demikian komposisi
modal masing-masing jelas, sebagaimana hak dan kewajiban keduanya-pun telah
jelas. Selanjutnya setiap keuntungan yang didapatkan, dibagi ke masing-masing
pihak berdasarkan kesepakatan. Agar lebih mudah memahami, mari kita perhatikan
ilustrasi berikut:
Kedua, Sewa Hak Kekayaan Intelektual. Pada opsi ini,
pihak pewaralaba memungut uang sewa atas penggunaan hak kekayaan intelektualnya
yang berupa merek dagang, dan lainnya, selama batas waktu yang disepakati pula.
Namun sebagai konsekuensi opsi ini, pewaralaba tidak berhak mendapatkan fee
dari keuntungan usaha. Dengan menerapkan satu dari kedua opsi ini, maka kedua
permasalahan yang dipersoalkan di atas dapat dihindarkan, sehingga dapat
memenuhi ketentuan syari’at dalam serikat usaha atau sewa-menyewa.
Opsi manapun pilihan Anda, maka pada tahapan
aplikasinya, pihak pewaralaba harus benar-benar mentransfer semua sistem,
teknologi, dan manajemen usaha yang berlaku. Ketentuan ini bertujuan agar akad
waralaba tidak menipu konsumen, sehingga merek dagang yang disewakan kepada
pihak terwaralaba bukan sekedar nama kosong. Merek dagang yang selama ini
mewakili sistem kerja, teknologi pengolahan dan mutu barang atau layanan,
benar-benar didapat oleh konsumen, sehingga tidak ada unsur penipuan.
Penutup
Pembaca yang budiman, aplikasi sistem
waralaba yang berjalan di masyarakat tidak sewarna, masing-masing memiliki ciri
khas yang membedakan dari sistem serupa lainnya. Bisa jadi di lapangan anda menemukan
sistem waralaba yang sedikit berbeda dari apa yang saya utarakan di atas.
Meskipun demikian, garis besar sistem waralaba telah saya paparkan di
atas. Dan menurut pertimbangan kaedah-kaedah umum dalam syari’at Islam, kedua
kritikan yang saya paparkan cukup menjadi pertimbangan untuk mengkaji ulang
praktek waralaba yang ada. Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita semua. Wallahu
a’alam []
Komentar