Bank Syariah, Bukan Urusan Gue!
“Serahkan
aja masalah syariah atau tidak syariahnya bank syariah kepada para
akademisi dan ulama, tugas praktisi hanya menjalankan tugas saja!”
(Ucapan
salah satu Direksi di sebuah Bank Syariah Yogyakarta)
PADA suatu saat, saya diminta
memberi ceramah untuk pegawai-pegawai sebuah bank syariah. Itu pun
mendadak, karena sebenarnya niat saya waktu itu hanya ingin menutup
pembiayaan saya di bank tersebut. Tetapi, salah satu direksi meminta
saya untuk berceramah tentang apa saja, sebelum saya meninggalkan
bank. Hari itu adalah hari Jum'at, memang jadwalnya mendengarkan
kultum dari Ustadz untuk para pegawainya. Kebetulan, Ustadz yang
biasa mengisi bank tersebut berhalangan. Akhirnya saya didapuk
menjadi Ustadz dadakan.
Sebagai mantan pegawai bank syariah,
saat itu saya mencoba menyampaikan sebuah refleksi agar bank syariah
berhati-hati dengan riba terselubung. “Dalam praktiknya, bagi
hasil itu hanya berjalan pada bagi untung, tapi tidak dalam bagi rugi.
Nah, kalau nasabah rugi, terus kita paksa minta bagi hasilnya,
kira-kira uang yang diambil bank tersebut berkah tidak? Sementara
nasabah sedang dalam kesusahan. Belum lagi, banyak bank syariah yang
serta merta memberi begitu saja uang dalam akad murabahah. Apa
bedanya dengan bank konvensional? Selain itu, pembiayaan yang
menggunakan margin, admin, dan ketentuan syarat tabungan beku yang
sangat tinggi”, kira-kira begitu ucapan yang saya sampaikan
dalam forum tersebut.
Meski format penyampaian saya
tersebut dalam bentuk ceramah, namun di akhir forum tersebut tak lupa
diclosing dan simpulkan oleh Direksi Utama. Beberapa kalimat yang
saya ingat, di antaranya adalah, “Terima kasih buat Mas Edo yang
sudah mengingatkan kita semua, namun untuk masalah syariah atau tidak
syariahnya bank syariah kita serahkan saja kepada para akademisi dan ulama, karena tugas
praktisi hanya menjalankan tugas saja.” Jujur saya kaget
setengah mati, mendengar kata-kata tersebut. Mengapa? Karena si
Direksi ini memiliki salah satu saham di bank syariah yang
dinakhodainya, walaupun atas nama istrinya. Jadi, ia punya kendali
juga terhadap perjalanan bank syariah yang ia ikut dirikan.
Jika semua jawaban praktisi seperti
di atas, saya kira perkembangan bank syariah di Indonesia menjadi
memprihatinkan. Karena seolah-olah tugas untuk membangun peradaban
ekonomi syariah hanya menjadi tanggung jawab akademisi dan ulama yang
mengerti ekonomi syariah! Memang, jumlah aset bank syariah terus
bertambah secara nasional. Namun jika kering dari nilai-nilai ekonomi
syariah itu sendiri dan hanya mengutamakan pertumbungan aset dan
keuntungan, bank syariah yang digagas sudah berpuluh-puluhan tahun
menjadi nirmakna.
***
Kemarin (23/6), sehabis futsal juga
saya bertemu kawan lama yang saat ini sudah menjabat Kepala Bagian
Operasional sebuah bank syariah di Yogyakarta. Saya berbincang cukup
lama tentang perkembangan bank syariah tempat ia bekerja dan seputar Bank
Indonesia. Dua hal yang bisa saya catat, dalam diskusi kami
tersebut adalah: Pertama, ia mengatakan, “Akademisi dan
pengkritik bank syariah jangan hanya bisa mengkritik. Ayo buat sebuah
contoh, bank syariah yang ideal.” Kedua, ia mengatakan, “Bank
Indonesia (BI) juga ikut berperan dalam kebijakan, tidak berjalannya
bank syariah sesuai syariat.”
Dua catatan teman saya tersebut,
ingin saya tanggapi satu persatu. Yang pertama, saya kurang setuju
jika akademisi dibilang hanya bisa bicara teori tapi miskin praktik.
Menurut saya, untuk menerima masukan dari akademisi dan pengkritik
bank syariah tidak perlu beralasan seperti itu. Cukup terima, dan
tanyakan kepada mereka, apa masukan yang bisa dikasih mereka. Karena
para akademisi juga bisa bilang, bahwa praktisi bank syariah sering menubruk aturan karena miskin teori. Menurut saya, baik akademisi ataupun
praktisi punya peran sama-sama penting. Jika mereka bisa sinergi,
insya Allah akan ada solusi dari masalah-masalah bank syariah yang ada
sekarang.
Yang kedua, saya setuju jika Bank
Indonesia punya peran atas tidak berjalannya dengan baik nilai-nilai
dalam bank syariah. Saya bisa mengerti, karena mereka memang bukan
kumpulan ulama. Kebijakan BI yang masih sangat merugikan bank syariah
adalah ketentuan Non Performing Financing (NPF) di bank
syariah yang disamakan dengan kebijakan Non Performing Loan
(NPL) bank konvensional. Bagaimana bisa? Ya, karena dalam praktik
ekonomi syariah memungkinkan dalam modal diinvestasikan dalam waktu
jangka panjang. Sebagai contoh, saya invest modal saya 1-2 tahun.
Saya tidak menarik modal saya selama perjanjian, dan saya hanya
menerima bagi hasilnya. Nah, dalam kebijakan BI tersebut tidak bisa
berjalan. Karena, jika modal Anda tidak diangsur selama setahun. Anda
masuk dalam kategori kredit/pembiayaan macet meski membayar bagi hasil!
Sebenarnya masalah yang berhubungan
dengan BI di atas sudah saya sampaikan langsung kepada salah satu pengawas
bank yang berasal dari BI Yogyakarta. Kebetulan orang ini S2-nya ekonomi
Islam di tempat kuliah saya yang sama. Harusnya ia mahfum dengan
kritik saya. Namun, apa dikata, justru ia mengatakan begini, “Jika tidak mau taat aturan BI, buat saja Bank Indonesia sendiri!” Kata-kata tersebut bikin saya mengelus dada. Meski Pemerintah
sudah mendukung perkembangan ekonomi syariah dengan UU Perbankan
Syariah dan Sukuk. Tapi dari pihak Bank Central Indonesia sendiri belum ada
solusi.
Saya berharap, ke depan ada
perbaikan dari masalah-masalah yang ada di dalam bank syariah. Dari
segi pelayanan, konsep, aturan main, serta regulasi dari Bank Indonesia itu
sendiri. Pemerintah juga harus berani menempatkan dana-dananya di
bank syariah, sebagai bentuk upaya mendukung bank syariah selain
regulasi. Jangan sampai ada yang lempar-lemparan masalah ini, dan mengatakan "Bank Syariah, Bukan Urusan Gue!" Baik praktisi, akademisi atau Pemerintah harus bersinergi
memecahkan masalah-masalah yang ada di bank syariah. Dan semoga bank
syariah tumbuh dengan baik dan yang penting berkah! Wallahua'lam
[]
Komentar
Megaoctaviany@ymail.com