Tribute To Hj. Badriah
Nenek, no. 2 dari kiri |
“Tak
satu makhluk hidup pun mengetahui kapan datang ajalnya. Manusia
mengadakan persiapan selama seratus tahun. Tapi tidak tahu bahwa
ajalnya menghampiri menit berikutnya.”
(Syair
yang dikutip oleh Khawaja Muhammad Islam dalam bukunya “ Mati Itu
Spektakuler”)
TEPAT
pukul 20.46 saya melihat sebuah panggilan masuk telpon yang berasal
dari Ibu saya. Karena saya baru melihat Handphone, lalu saya balik
sms Ibu saya: “Ada
apa mah?”,
begitu kata-kata sms yang saya kirimkan ke Ibu saya. Tak lama
kemudian Ibu saya menelpon. Tanpa basa-basi, Ibu saya bilang kalau
Nenek saya sudah meninggal. Saya cuma kaget terdiam sembari tak
percaya. Padahal baru seminggu yang lalu saya baru pulang menjenguk
Nenek saya tersebut.
Memang
kondisi terakhir yang saya temui, beliau sangat memprihatinkan.
Berbeda dua bulan sebelumnya saat saya juga menemuinya. Seminggu yang
lalu saat saya temui, kondisi almarhumah sangat kurus dan beliau
bahkan sudah tidak ingat siapa saya dan orang-orang terdekatnya. Jika
ia ingat pun, yang ia panggil acak. Dalam catatan Tante saya yang
setia menungguinya, Ibu saya yang namanya paling sering dipanggil.
Yang juga menarik adalah, Dita istri saya yang tidak bisa menemani
saya menjenguk beliau justru dipanggil-panggil, bukan saya.
![]() |
Saat terakhir saya temui |
Di usianya yang ke-70, nenek saya
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yang saya kenal dan ketahui,
beliau muslimah yang sangat taat. Sehari-harinya sejak ditinggal
almarhum Kakek saya Entoel Rachmat, kegiatannya hanya diisi dengan
membaca al-Qur'an. “Daripada gosip, mending baca Qur'an...”,
kata-kata itu yang terus saya ingat. Semasa kecil saya, saya
seringkali ke rumah beliau dan menginap di sana. Kebetulan TK dan SD
saya sangat dekat dengan rumah nenek. Nenek juga yang biasanya saya
mintai tanda tangan jika nilai studi saya kecil. Saya tidak berani
minta tanda tangan orangtua saya, karena sudah pasti akan dimarahi.
Intensitas saya mengunjungi beliau
agak berkurang sejak saya kuliah dan tinggal menetap di Jogja.
Terakhir, saat beliau masih sehat, beliau pernah mengunjungi rumah
kami di Jogja. Saya pernah berharap beliau bisa mampir ke rumah kami
kembali, namun sayang itulah kunjungan terakhirnya ke Jogja. Saya
ingat betul ketika beliau meminta sprei baru yang menumpuk di gudang,
kepada saya. Hal itu yang saya ingat terus dan bikin saya menangis.
Saya selalu ingat beliau selalu membela saya jika ada keinginan saya
yang tidak dipenuhi oleh orangtua saya.
Selamat jalan Nek... maafkan cucumu
ini yang tidak bisa ikut mengantarkan jenazahmu diperistirahatan
terakhir. Maafkan Edo, karena saat menjengukmu hanya
sebentar-sebentar dan menunggui satu malam selama lima hari di
Lampung. Cucumu ini justru sibuk menonton Final Liga Champion sampai
pagi ketimbang menungguimu yang sedang berjuang melawan sakit yang
ada di dalam tubuhmu.
Semoga kami anak-anaknya, cucu, dan buyutnya bisa semakin baik di dunia baik dunia dan amal untuk akhiratnya. Kelak menemui engkau nanti disana dalam keadaan yang lebih baik. Semoga bacaan Qur'anmu bisa membuat kamu bahagia di liang kubur. Semoga semua amal-amalmu memudahkan ketika engkau dihisab oleh-Nya. Kami semua pasti merindukanmu dan selalu mendoakanmu. []
Semoga kami anak-anaknya, cucu, dan buyutnya bisa semakin baik di dunia baik dunia dan amal untuk akhiratnya. Kelak menemui engkau nanti disana dalam keadaan yang lebih baik. Semoga bacaan Qur'anmu bisa membuat kamu bahagia di liang kubur. Semoga semua amal-amalmu memudahkan ketika engkau dihisab oleh-Nya. Kami semua pasti merindukanmu dan selalu mendoakanmu. []
Cucumu,
Yogyakarta, 28 Mei 2012
Komentar